Nama : Alfalah Difa Nawi
NPM : 12509191
Kelas : 3PA05
Mata Kuliah : Psikologi Lintas Budaya
UNIVERSITAS GUNADARMA
2011-2012
1. Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Psikologi Lintas Budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.
Menurut Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: 1. Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
2. Tujuan Mempelajari Psikologi Lintas Budaya
Tujuan dari kajian psikologi Lintas Budaya adalah mencari persamaan dan perbedaan dalam fungsi-fungsi individu secara psikologis, dalaam berbagai budaya dan kelompok etnik.
3. Hubungan Psikologi Lintas Budaya dengan Ilmu lain
Sementara psikologi lintas-budaya dan antropologi sering tumpang tindih, baik disiplin cenderung memfokuskan pada aspek yang berbeda dari suatu budaya. Sebagai contoh, banyak masalah yang menarik bagi psikolog yang tidak ditangani oleh antropolog, yang memiliki masalah mereka sendiri secara tradisional, termasuk topik-topik seperti kekerabatan, distribusi tanah, dan ritual. Ketika antropolog melakukan berkonsentrasi pada bidang psikologi, mereka fokus pada kegiatan dimana data dapat dikumpulkan melalui pengamatan langsung, seperti usia anak-anak di sapih atau praktek pengasuhan anak. Namun, tidak ada tubuh yang signifikan data antropologi pada banyak pertanyaan yang lebih abstrak sering ditangani oleh psikolog, seperti konsepsi budaya intelijen.
penelitian lintas budaya dapat menghasilkan informasi penting tentang banyak topik yang menarik bagi psikolog. Dalam salah satu studi yang paling terkenal, peneliti menemukan bukti bahwa proses persepsi manusia mengembangkan berbeda tergantung pada apa jenis bentuk dan sudut orang terpapar setiap hari di lingkungan mereka. Masyarakat yang tinggal di negara-negara seperti Amerika Serikat dengan bangunan banyak mengandung sudut 90 derajat rentan terhadap ilusi optik yang berbeda dari yang di desa pedesaan Afrika, di mana bangunan tersebut tidak norma. Studi-studi lintas budaya juga menemukan bahwa gejala gangguan psikologis yang paling bervariasi dari satu budaya ke yang lain, dan telah menyebabkan peninjauan kembali atas apa yang merupakan seksualitas manusia normal. Sebagai contoh, homoseksualitas, lama dianggap perilaku patologis di Amerika Serikat, disetujui dari dalam budaya lain dan bahkan didorong dalam beberapa sebagai outlet seksual yang normal sebelum menikah.
4. Etnosentrisme dalam Psikologi Lintas Budaya
Salah satu ilmu perilaku yang terpenting yakni psikologi, khususnya psikologi lintas budaya, menunjukkan bahwa kita berbeda dengan orang lain karena kita anggota kelompok budaya yang berbeda. Kita tidak hanya berbicara dalam bahasa dan cara yang berbeda tetapi juga berpikir beda, berbeda dalam merasa, dan berbeda dalam cara berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya secara psikis, tubuh kita dan gerakan tubuh kita juga berbeda, tertawa berbeda, menggerakkan tangan berbeda, mengekpresikan wajah dengan cara berbeda (Wierzbicka, 1999). Perbedaan-perbedaan yang sedemikian besar tentunya membawa konsekuensi yang besar pula. Bila tidak terdapat saling pengertian yang mendalam akan adanya perbedaan itu maka interaksi yang terjadi bisa jadi hanya akan menimbulkan konflik.
Kita selalu diyakinkan bahwa perbedaan merupakan suatu anugerah. Demikian yang selalu digembor-gemborkan. Seolah-olah perbedaan tanpa masalah. Padahal akar dari semua konflik adalah perbedaan. Sayangnya perbedaan suatu keniscayaan. Ia sesuatu yang pasti ada dan akan tetap ada. Jadi, yang bisa dilakukan tinggal lagi bagaimana berdamai dengan perbedaan yang ada. Banyak contoh hadir ditengah kita bagaimana upaya pengabaian perbedaan dengan hanya menghadirkan kesamaan yang ada dengan alasan demi persatuan, justru malah menghancurkan persatuan yang ingin dicapai. Politik persamaan yang dilakukan orde baru, yang tidak mentolerir perbedaan yang muncul kontradiktif dengan tujuannya untuk mempersatukan, yang muncul malahan keretakan di masyarakat. Dalam kasus Indonesia, terutama pada zaman orde baru, terbukti bahwa intervensi tanpa perhatian pada perbedaan kelompok dapat membawa pada kebijakan assimilisianist dimana anggota kelompok minoritas diharapkan untuk konform atau melebur terhadap kelompok mayoritas. Fenomena ini nyata sekali pada perlakuan yang diberikan pada etnis Cina. Misalnya mereka diharuskan mengubah nama menjadi nama Indonesia. Mereka juga dilarang menyelenggarakan berbagai ritual budaya. Akibatnya mereka mengalami kegamangan budaya. Disatu sisi mereka tercerabut dari akar budayanya, disisi lain mereka tetap kurang diterima sebagai bagian dari masyarakat mayoritas, sebab jelas mereka benar-benar berbeda, setidaknya secara fisik. Tampaknya justru ketika membiarkan suatu kelompok dengan identitas budayanya, di ikuti dengan menumbuhkan toleransi antar kelompoklah yang akan mencipta persatuan yang hakiki.
Pada saat berbicara mengenai perbedaan, mau tidak mau kita akan sering bertemu dengan kata diversitas. Seringkali arti ‘perbedaan’ dan ‘diversitas’ kita artikan sama saja, padahal keduanya sedikit berbeda (dalam bahasa inggris ‘perbedaan’ diterjemahkan sebagai ‘difference’, sedangkan diversitas atau keberagaman diterjemahkan sebagai ‘diversity’). Perbedaan merujuk pada adanya sesuatu yang beda atau lain antara dua hal atau lebih (lebih bersifat kualitatif). Diversitas merujuk pada keberadaan dua hal atau lebih yang memiliki kesetaraan (lebih bersifat kuantitatif). Banyaknya etnik di negeri kita lebih tepat bila disebut diversitas etnik atau keberagaman etnik karena merujuk adanya banyak etnik dimana yang satu tidak lebih rendah dari yang lain.
Diversitas atau keberagaman memiliki sisi positif maupun negatif. Keberagaman akan menjadi sisi yang mana tergantung penilaian individu pada keberagaman itu sendiri. Menurut Johnson dan Johnson (2000) sebuah diversitas menjadi positif atau negatif tergantung apakah kita:
1. Mengakui bahwa diversitas ada dan merupakan sesuatu yang berharga
2. Membangun identitas pribadi yang utuh yang mengandung a) Pengakuan tehadap warisan budaya etnik, b) Memandang diri sebagai individu yang menghargai adanya perbedaan nilai-nilai pada setiap orang.Mengerti keadaan kognitif diri sendiri (seperti stereotip dan prasangka) untuk membangun hubungan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang budaya.
3. Mengerti adanya konflik antar kelompok yang dinamis
4. Mengerti proses penilaian sosial dan mengetahui bagaimana proses terbentuknya penerimaan dan penolakan.
5. Mampu menyusun sebuah konteks kerjasama dalam hubungan positif antara individu yang berbeda.
6. Memanajemen konflik dalam cara-cara yang konstruktif: a) Konflik intelektual, yaitu pembuatan keputusan dan mempelajari situasi, b) Konflik kepentingan, yaitu pemecahan masalah melalui negosiasi dan mediasi.
7. Belajar dan menginternalisasi nilai-nilai pluralitas dan demokrasi.
Bila kita mampu melakukan kedelapan hal itu dengan baik maka diversitas akan menjadi sesuatu yang positif bagi kita. Sebaliknya bila kita gagal melakukannya maka mungkin sekali kita akan menilai diversitas secara negatif. Sangat mungkin adanya diversitas kita artikan sebagai ancaman bagi diri kita dimana kita tidak merasa nyaman dengan adanya diversitas atau keberagaman. Tiliklah kedalam diri kita, kita kadangkala enggan untuk bergaul atau berada diantara orng yang berbeda dengan diri kita.
Diversitas bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Pada suatu kondisi tertentu diversitas akan menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial. Namun sebaliknya, dalam kondisi yang lain diversitas bisa meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Johnson dan Johnson (2000) mengidentifikasikan delapan kondisi yang menyebabkan diversitas lebih merupakan suatu keuntungan, bila:
1. Menurunkan stereotip dan prasangka,
2. Meningkatkan hubungan lebih positif,
3. Memperbaharui vitalitas masyarakat,
4. Meningkatkan prestasi dan produktivitas,
5. Meningkatkan kreativitas dalam pemecahan masalah,
6. Menjaga pertumbuhan kognitif dan penalaran moral,
7. Menjaga cara pandang yang dimiliki,
8. Membangun komitmen terhadap demokrasi bangsa.
9. Sementara itu diversitas menjadi sebuah kerugian, bila:
10. Meningkatkan stereotip dan prasangka,
11. Membentuk hubungan yang penuh ketegangan,
12. Meningkatkan hubungan lebih negatif, seperti pengkambinghitaman, kekerasan, penolakan, dan lainnya,
13. Membuat hidup lebih kompleks dan sulit,
14. Membuat produktivitas rendah karena susah dalam komunikasi, koordinasi, dan pembuatan keputusan,
15. Mengharuskan lebih banyak upaya untuk bisa berhubungan dengan orang lain,
16. Merupakan sesuatu yang mengancam,
17. Membuat cemas.
Implikasi adanya keberagaman budaya dalam suatu masyarakat cukup luas. Organisasi yang bergerak dalam masyarakat yang memiliki keberagaman mau tidak mau harus sensitif terhadap keberagaman itu. Sebuah organisasi publik, entah itu perusahaan atau instansi pemerintahan akan menghadapi kenyataan untuk menerima pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Karenanya diperlukan suatu manajemen khusus untuk mensinergikan kerja dari pegawai-pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam kondisi demikian peran pemimpin sangat sentral. Untuk mengarahkan berbagai orang dengan berbagai latar belakang budaya dalam pencapaian tujuan organisasi diperlukan suatu kepemimpinan yang mampu memhami adanya perbedaan budaya diantara anggota-anggota organisasi. Menurut Chemers dan Ayman (1993) setidaknya ada empat karakter penting dalam kepemimpinan organisasi multikultural, yaitu:
1. Pribadi yang memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas organisasi. Pemimpin seharusnya memiliki rencana jangka panjang termasuk memperkerjakan karyawan yang berasal dari berbagai latar belakang budaya pada semua level organisasi.
2. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural.
3. Terbuka untuk melakukan perubahan di dalam dirinya
4. Membimbing dan mengarahkan pegawai yang berbeda-beda latar belakang budayanya.
Kesadaran akan adanya diversitas merupakan kemutlakan karena kita hidup dalam masyarakat plural. Kita mesti menyadari bahwa ada begitu banyak perbedaan di sekitar kita sebelum kita memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan. Tiga alasan kenapa kesadaran akan diversitas penting:
1. Meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dengan menyadari adanya beragam budaya maka kita bisa lebih humanis.
2. Diversitas merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan
3. Kehidupan ekonomi semakin mengglobal dan mengharuskan terjalinnya hubungan dengan berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda
5. Persamaan dan perbedaan antara budaya dalam hal transmisi budaya melalui enculturasi dan Sosialisasi.
Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Dalam masyarakat ia belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak.
Di samping enkulturasi, terdapat sosialisasi. Sosisalisasi adalah proses pemasyarakatan, yaitu seluruh proses apabila seorang individu dari masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal, dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota.
Di mana-mana, di berbagai kebudayaan, sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang inndividu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individulain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Apakah perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi? M.J.Herskovits berpendapat bahwa perbedaan antar enculturation (enkulturasi) dengan socialization (sosialisasi) adalah sebagai berikut ;
1.Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.
2.Socialization (sosialisasi) adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
6. Persamaan dan perbedaan antar budaya Melalui Perkembangan Moral
Perkembangan Moral ( menjelaskan dan perbedaan antar budaya dalam hal transmisi budaya melalui perkembangan moral dan melalui masa remaja )
Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:[4]
1. Perubahan fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.
2. Perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Adapun tahapan tahapan perkembangan nilai moral dan sikap untuk menciptakan kedewasaan pada diri remaja sebagai berikut:
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Sedangkan untuk mencapai tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap di atas membeutuhkan pendidikan moral, sebagai berikut
1. pendidikan moral di rumah
2. pendidikan moral di sekolah
3. pendidikan moral di masyarakat
7. Persamaan dan perbedaan antar budaya Melalui Perkembangan Remaja
Saat ini pengaruh budaya barat tidak hanya sebatas cara berpakaian, pergaulan, tapi juga di bidang pendidikan dan gaya hidup. Subjek yang paling terpengaruh adalah remaja. Bahkan bagi sebagian remaja, gaya hidup barat merupakan suatu kewajiban dalam pergaulan. Tanpa disadari, para remaja telah memadukan kebudayaan dengan pergaulan dalam aspek kehidupan mereka. Pada dasarnya remaja memiliki semangat yang tinggi dalam aktivitas yang digemari. Mereka memiliki energi yang besar, yang dicurahkannya pada bidang tertentu, ide-ide kreatif terus bermunculan dari pikiran mereka. Selain itu, remaja juga memiliki rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, mereka cenderung menggunakan metode coba-coba. Sebagai contoh, ketika berkembang sistem belajar yang menyenangkan atau disebut Quantum Learning, remaja cenderung mencoba hal tersebut. Namun hal ini tidak terbatas hanya pada budaya yang bersifat positif, tapi juga pada budaya negatif. Misalnya, ketika berkembang budaya “clubbing” di kota-kota besar, sebagian besar remaja marasa tertarik untuk mencoba, sehingga ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan itu terus dilakukan.
Selanjutnya yang kedua ialah faktor eksternal. Keluarga berperan penting dalam membimbing remaja untuk menentukan yang baik atau tidak untuk dilakukan. Orang tua memegang peranan utama didalam sebuah keluarga. Segala tindakanya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik dan psikis anak. Remaja dengan orang tua yang memperhatikan mereka cenderung dapat memilah pergaulan yang berdampak positif atau negatif bagi mereka. Kemudian, lingkungan turut mempengaruhi pergaulan. Ini cenderung berkembang pesat di kota-kota besar. Kondisi kota besar yang cepat mendapatkan informasi baru, menyebabkan para remaja lebih mudah terpengaruh. Ditambah dengan sistem hidup yang terbuka terhadap budaya asing. Namun, Faktor yang paling mempengaruhi remaja dalam mengadaptasi pergaulan itu ialah teman. Bagi sebagian besar remaja, teman memiliki posisi yang lebih penting daripada orang tua. Teman merupakan tempat berbagi kesedihan dan kebahagiaan, tempat mencurahkan rahasia-rahasia dalam dirinya. Oleh karena itu, munculah suatu ikatan ketergantungan dengan teman.
Dalam perkembangannya akan muncul dampak baik yang positif maupun negatif. Dampak positifnya yaitu mengubah sistem belajar yang monoton kini telah digantikan oleh sistem pembelajaran yang disebut dengan “Enjoy Learning”. Sehingga akan dihasilkan genersai muda Indonesia yang cerdas untuk membangun bangsa. Sedangkan dampak negatifnya ialah perubahan gaya hidup yang mengadopsi budaya barat. Remaja denga gaya hidup tersebut menjalani hidup sesuai dengan keinginan mereka. Mereka menghabiskan hidupnya untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, berpesta pora, dan menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Dampak yang paling bahaya dari itu semua adalah pergaulan bebas. Dalam pergaulan remaja barat, hampir tidak ada “batasan” antara pria dan wanita. Pacaran yang kemudian dilanjutkan dengan pelukan, ciuman, bahkan hubungan badan merupakan hal yang biasa. Dengan adanya pengaruh dari media yang sangat kuat, pergaulan bebas mulai marak dikalangan generasi muda Indonesia. Saat ini, hampir sebagian besar generasi muda telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa timur. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi rasa bangga terhadap budaya timur.
Untuk mengantisipasi dampak tersebut, Remaja seharusnya dapat memilah dan menyaring perkembangan budaya saat ini, jangan menganggap semua pengaruh yang berkembang saat ini semuanya baik, karena belum pasti budaya barat tersebut diterima dan dianggap baik oleh Budaya Timur kita.
8. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal konfromitas, kompliance, dan obedience
Conformity adalah proses dimana seseorang mengubah perilakunya untuk menyesuaikan dengan aturan kelompok. Compliance adalah konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Kepatuhan atau obedience merupakan salah satu bentuk ketundukan yang muncul ketika orang mengikuti suatu perintah langsung, biasanya dari seseorang dengan suatu posisi otoritas.
Untuk membandingkan bagaimana conformity, compliance, dan obedience secara lintas budaya, maka telaah itu harus memusatkan perhatian pada nilai konformitas dan kepatuhan itu sebagai konstruk sosial yang berakar pada budaya. Dalam budaya kolektif, konformitas dan kepatuhan tidak hanya dipandang “baik” tetapi sangat diperlukan untuk dapat berfungsi secara baik dalam kelompoknya, dan untuk dapat berhasil menjalin hubungan interpersonal bahkan untuk dapat menikmati status yang lebih tinggi dan mendapat penilaian atau kesan positif.
9. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal nilai-nilai
telaah lintas budaya mengenai nilai-nilai baik kemasyarakatan maupun perseorangan tergolong baru nilai merupakan gambaran yang dipegang oleh perseorangan atau secara kolektif oleh anggota kelompok, yang mana dapat diinginkan dan mempengaruhi baik pemaknaan dan tujuan tindakan diantara pilihan-pilihan yang ada.
Dalam Psikologi Lintas Budaya nilai dimasukkan sebagai salah satu aspek dari budaya atau masyarakat. Nilai muncul menjadi ciri khas yang cenderung menetap pada seseorang dan masyarakat dan karenanya penerimaan nilai berpengaruh pada sifat kerpibadian dan karakter budaya.
10. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Prilaku Gender
Gender merupakan kajian tentang tingkah laku dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Perbedaan pola sosialisasi ini juga berkaitan dengan beberapa faktor budaya dan faktor ekologi.
Gender merupakan hasil konstruksi yang berkembang selama masa anak-anak sebagaimana mereka disosialisasikan dalam lingkungan mereka. Adanya perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara pria dan wanita dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini pada gilirannya mengakibatkan perbedaan ciri-ciri sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara pria dan wanita. Faktor-faktor yang terlibat dalam memahami budaya dan gender tidak statis dan unidimensional. Keseluruhan sistem itu dinamis dan saling berhubungan dan menjadi umpan balik atau memperkuat sistem itu sendiri. Sebagai akibatnya sistem ini bukan suatu unit yang linear dengan pengaruh yang berlangsung dalam satu arah, dan semua ini diperoleh dalam kehidupan kita sendiri.
Sebagai konsekuensinya, budaya yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Satu budaya mungkin mendukung kesamaan antara pria dan wanita, namun budaya lainnya tidak mendukung kesamaan tersebut. Dengan demikian budaya mendefinisikan atau memberikan batasan mengenai peran, kewajiban, dan tanggung jawab yang cocok bagi pria dan wanita.
11. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Sosial Bermasyarakat
Masyarakat didefinisikan oleh Ralph Linton sebagai "setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas". Sejalan dengan definsi dari Ralph Linton, Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orangorang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986). Mengacu kepada dua definisi tentang masyarakat seperti dikemukakan di atas, dapat di identifikasi empat unsur yang mesti terdapat di dalam masyarakat, yaitu:
1) Manusia (individu-individu) yang hidup bersama,
2) Mereka melakukan interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama.
3) Mereka mempunyai kesadaran sebagai satu kesatuan.
4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,
Terdapat hubungan dan saling mempengaruhi antara individu, masyarakat dan kebudayaannya. Individu, masayarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana Anda maklumi bahwa setiap individu hidup bermasyarakat dan berbudaya, adapun masyarakat itu sendiri terbentuk dari individu-individu. Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya.
12. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Sosial Cognitif
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
a. Kecerdasan Umum
Kecerdasan umum merupakan tingakat IQ dalam suatu kebudayaan atau daerah secara umum. Menurut Mc. Shane dan Berry kecerdasan umum mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya
b. Genetic epistemologi (faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa adanya koherensi antara penampilankonitif saat berbagai diberikan pada seseorang. Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sama disetiap tempat dan kebudayaan tertentu.
c. Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau membangun.
d. Contextualized coqnition (Pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
13. Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Individual dan Kolektivitas
A. Individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu. Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain
B. Kolektif
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Daftar Pustaka
Http://nurdiniamalia.files.wordpress.com/2009/05/kajian-psikologi-lintas-budaya.doc 26/09/2011
http://fadjarsoelistyp.blogspot.com/20/10/07/kajian-psikologi -lintas-budaya-dalam.html 26/09/2011
http://abdiplizz.wordpress.com/2011/04/19/perkembangan-moral/ 27/09/2011
http://orthevie.wordpress.com/2010/05/29/teori-perkembangan-moral-menurut-kohlberg/ 27/09/2011
http://emanemancakk.student.umm.ac.id/2010/01/22/perkembangan-kebudayaan-dan-pergaulan-remaja-2/ 27/09/2011
http://fitapuspita.wordpress.com/2011/05/11/perkembangan-kebudayaan-dan-pergaulan-remaja-ketika-berbicara-tentang-kebudayaan-maka-kita-harus-mengerti-budaya-itu-sendiri-seperti-apa-terkadang-orang-mengartikan-budaya-merupakan-kebiasaan/ 27/09/2011
http://id.wikipedia.org./wiki/Psikologi_lintas_budaya 22/09/2011
http://psikologi-online.com/pluralitas-etnik-di-indonesia 23/09/2011
http://juliardibachtiar.wordpress.com 23/09/2011